Dear you, My Princess
Ini suratku yang ketiga, masih untukmu tentu saja. Apa kabarmu hari ini? Hujankah di sana? Di sini, gerimis sedang bersuka cita di luar sana, bunyinya yang jatuh di atap rumah, berisik. Seberisik anak-anak yang mandi setiap sore di tepian sungaimu. Seberisik gelak kita ketika mencoba curang bermain kartu.
Kau tahu, H. Bahwa aku pencinta gerimis. Aku pencandu hujan yang keterlaluan. Tak terhitung jari lagi kau harus rela menyerahkan diri, menjadi korban, menemaniku menikmati hujan. Menungguiku memandangi gerimis yang turun perlahan dan melebat kemudian. Kau tak pernah mengeluh, ya, tak sekalipun, terimakasih untuk menemaniku, saat itu aku lupa mengucapkannya.
Lalu, ingatkah kau, setiap mendung, aku pasti mendatangimu di rumah rakit itu. Mengajakmu menyeduh kopi sambil menunggui langit yang gelap menjatuhkan ribuan jarum air. Entah kenapa hujan dan kopi bagiku adalah dua hal yang dijodohkan oleh Tuhan, tidak dapat dipisahkan. Di jendela, dengan Mahakam sebagai pemandangannya, dan aroma kopi hitam yang menguap ke udara, aku sering kali membisu, mengabaikanmu. Memandangi gerimis itu turun, menikmati rima hujan yang jatuh di talang-talang air. Terhisap dalam momen yang bahkan tak ada kamu, hanya aku dan gerimisku. Dan kau, dengan tabah duduk di sampingku, sambil menyesap kopimu, membiarkanku tenggelam dalam canduku terhadap anugerah alam yang satu ini. Dan bila aku sudah membuka mata, pelukmulah yang kemudian melingkupi bahuku yang kedinginan, menelisipi jemariku dengan genggaman yang menghangatkan. Terimakasih lagi, entah, mungkin saja aku selalu lupa mengatakan betapa berharganya kamu saat itu. Sementara kopiku, tak tersentuh, mendingin saja di gelasnya. Tapi, Hei… biasanya kopiku tinggal setengah, setengahnya sudah kau minum juga.
“bagaimana rasanya hujan di hatimu?” tanyamu suatu hari,
“setiap kali aku selalu iri padanya, selalu berharap bahwa akulah yang menjadi hujan itu agar aku selalu menikmati pemujaanmu terhadapku” lanjutmu.
Hatiku melumer dalam diam, Ahh, kata-katamu itu berdentam-dentam di kepalaku sekarang.
Surat-suratku ini, H. Sesungguhnya adalah memoar tentang kita yang terekam di pikiranku, apa saja. Setiap hari akan kuceritakan apapun tentangmu. Agar kelak bila kau membacanya, kau akan tahu bahwa aku mengingat setiap detailnya, mengingat setiap hal terkecil dirimu. Ataupun jika kau tak pernah membaca ini, cukup dia menjadi tulisan yang akan terjabarkan rapi dan kata-kata sunyi yang menyimpan rahasianya sendiri.
Dan H, aku sedang duduk di jendela sekarang, menikmati hujan. Mencoba sekali lagi menghadirkan kamu, tapi tak pernah sama lagi kurasa. Hujanku tak akan pernah sama lagi tanpamu.
H, jaga dirimu baik-baik di sana. Berhentilah bersedih. Lanjutkanlah hidupmu, kau akan baik-baik saja, percayalah. Dan Hei, bila hujan datang, pakailah sweater yang pernah aku beri itu, dan andai kau sudi, anggaplah aku ada di situ, sedang memelukmu, sekali lagi.
Karena di sini, kapanpun saat gerimis jatuh ke bumi, hatiku memang benar-benar sedang memelukmu.
Miss you much, A..
Prince
PS. Dan baru saja kutitipkan sebuah kecupan, semoga angin menempiaskannya padamu tiap hujan datang
Surya Saputra
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih Atas Komentarnya
Pilih
Beri Komentar Sebagai => Name/URL